Menaklukkan Ketakutan Diri & Level Up Energy dengan Media Sosial di Era Pandemi

Who knows the secret tomorrow will hold? We don't really need to know.


Suatu hari di bulan Mei 2021, suami pulang kantor lebih cepat dari biasanya. Melihat raut wajahnya yang resah, aku tau pasti ada sesuatu yang salah.

“3 orang teman kantor kakak positif covid 19.”

DEG.

“Kalau kakak gak kontak langsung, gak apa sayang. Insya Allah gakpapa.” Aku mencoba menepis rasa khawatir yang pasti tengah ia rasakan, walau sebetulnya rasa khawatir itu juga pelan-pelan merayapi diriku sendiri.


Besoknya suami demam, suhu tubuhnya meningkat, badannya terasa lelah. Berbagai pertanyaan mulai hiruk pikuk di kepalaku.


“Apakah suamiku tertular covid?”

“Ah nggak nggak nggak, paling hanya kecapekan. Ini pasti gara-gara beberapa hari lalu lembur, kecapekan, kurang tidur, jadi demam deh.”

“Tapi teman kantornya mendadak 3 orang loh yang positif covid, siapa yang bisa menjamin kalo suamimu gak kontak sama mereka? Baik secara langsung atau tidak.”

“Jadi harus gimana? Periksa? Swab antigen? Kalau ternyata positif, aku harus apa?”


Kepalaku riuh sekali. Tanya sendiri, jawab sendiri, pikiran positif & negatifku berdebat tanpa tanda-tanda mau menyerah satu sama lain. Lelah.


“Yang, boleh kakak tes covid 19?”


Ternyata justru suamiku yang berinisiatif lebih dulu memberanikan diri untuk periksa. Aku lega, tapi sekaligus takut juga dengan hasilnya. Namun, kami pun berhasil mengalahkan takut, menyeret diri berangkat ke klinik untuk melakukan swab antigen, yang waktu itu tarifnya masih di angka nyaris Rp 200K. Cukup lama menunggu karena kami datang di ‘jam tanggung’. Swab antigen di klinik itu bisa dilakukan jam 1 siang, sementara kami datang jam 11 siang. Tapi daripada bolak balik lagi ke rumah, kami memutuskan menunggu saja di klinik.


Hingga tiba waktunya swab antigen & 15 menit kemudian, hasilnya keluar.

“Maaf Pak hasilnya kurang baik..”


Hanya 1 kalimat itu yang tertangkap baik oleh telingaku. Ku lihat wajah suamiku pias, jantungku berdebar kencang, bukan untuk sesuatu yang membuatku excited, namun karena detik itu aku seperti didorong ke dalam jurang dengan pertanyaan raksasa, APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?

Dengan gemetar, aku meraih handphone, untuk menghubungi atasanku, meminta izin untuk tidak masuk kantor beberapa waktu karena suami terbukti positif covid 19. Dengan posisi sebagai kontak erat dengan suamiku, aku juga melakukan pemeriksaan swab antigen, hasilnya negatif. Syukurlah, kami tidak tumbang berdua.

Kami pun memulai 14 hari isolasi mandiri, yang ternyata betul-betul menguras tenaga, emosi juga dana darurat. Suamiku sempat demam tinggi & berhalusinasi, tidak mau makan (padahal dia adalah pemakan segala yang hanya kenal rasa enak & enak banget), gerak sedikit malah berakhir muntah-muntah, uhhh, tapi yang paling pedih karena kami tidak bisa berdekatan seperti saat sebelum kami tau dia positif covid 19. Aku tau mental dia juga kena, butuh dipeluk & disayang-sayang tapi ga bisa, ga bisa dikunjungi ibu & adek-adeknya, ga bisa kemana-mana, di sisi lain pikiran sudah berkeliaran hingga jauh. Overthingking tiada henti.

Aku pun sama saja.

Hanya berlagak riang gembira di depannya, tapi menangis terisak saat dia sedang tidur. Telponan sama Ibu nangis, baca berita nangis, dengar bunyi ambulans nangis. Hati & kepalaku sesak dihantui petanyaan,

APAKAH KAMI BISA MELALUI 14 HARI INI?

Aku sadar diri, kadar overthingking-ku tinggi sekali. Jika aku tidak bisa mengendalikannya, aku rasa hanya perkara menunggu waktunya saja, aku juga akan tumbang. OH TAPI TIDAK BOLEH. Aku tidak mau jika harus berakhir di rumah sakit yang rasanya tentu saja akan asing. Selama isolasi di rumah, tempat paling akrab bagi kami, bisa pesan makanan apapun via ojek online & selama suamiku tidak bergejala berat yang mengkhawatirkan, maka aku harus bertahan, menjaga suami, menjaga diri agar mampu melewati masa-masa isolasi.

Aku tau posisi, aku hanya perlu menaklukkan ketakutan & mengubah energi yang aku miliki jadi sesuatu yang berarti. Dan saat itu pilihanku adalah memanfaatkan kekuatan & keriuhan media sosial. Meski raga terkungkung di rumah, tapi aku yakin ketika aku mampu me-level up energiku, aku bisa merengkuh dunia. 14 hari merawat & menemani suami isolasi mandiri, tidak boleh berakhir sia-sia.


Ikut lomba-lomba untuk memperoleh kembali rasa percaya, bahwa hidup ini indah dengan segala suka dukanya.

Hidup yang memang penuh ketidakpastian ini rasanya semakin menjadi tidak pasti saat pandemi. Apa itu to do list? Apa itu resolusi? Bisa bertahan hidup dengan waras saja sudah lebih dari cukup. Sejujunya pandemi sempat membuatku kehilangan semangat & keceriaan, muram durja rasanya lebih mendominasi. Tapi ketika mengikuti lomba-lomba yang banyak bertebaran di media sosial, aku rasanya kembali menemukan antusiasme dalam diri. Keinginan untuk belajar, membaca, riset, mencari tahu & mengupgrade pengetahuan serta pengalaman yang dimiliki untuk kemudian dituangkan dalam sebuah lomba. 


Mengubah rasa takut menjadi energi untuk berkompetisi lagi. 

Lebih dari sekedar berjuang mendapatkan hadiahnya, bagiku ikut lomba adalah tentang menemukan & berdamai dengan diri sendiri. Walaupun tentu saja ketika akhirnya berjodoh dengan hadiah yang ada, rasanya seperti menyaksikan kembang api di malam pergantian tahun. Indah, penuh bangga & bahagia. Aku pun ternyata bisa menutup kembali pos dana darurat yang bocor dengan deras karena keperluan ekstra saat pandemi. Sebutlah masker double, vitamin, susu, madu, swab antigen bolak balik, aih semangat ya kita!


Sharing is caring. Tidak peduli seberapa banyak atau sedikit ilmu yang kita miliki, melainkan seberapa sering kita membagikannya.

Dulu aku selalu merasa diri ini masih kurang untuk berbagi. Mau sharing tentang dunia penyiar yang aku geluti sejak 2014, kok rasanya malu ya, karena yang lebih senior tuh banyak. Apalagi mau sharing tentang blog atau podcast, rasanya kok kepedean, karena yang expert lebih banyak.


Tapi usai ikut lomba-lomba di media social saat pandemi ini, aku berhasil menyingkirkan ketakutanku & lebih percaya diri. Bukankah semua orang punya peran masing-masing? Cobalah tengok di setiap jenjang pendidikan, ada guru SD, guru SMP, guru SMA, dosen di universitas. Apa lantas dosen lebih berarti dari guru SD atau sebaliknya? Tentu saja tidak. Semua ada levelnya, semua ada perannya. Aku yang tergolong pemula ini tetap bisa kok sharing, dengan segmentasi pemula juga tentunya. Dan yang menyenangkan, ilmu, insight & pengalaman adalah sesuatu yang ajaib, semakin dibagi, tidak akan pernah berkurang, melainkan menggulung seperti bola salju, makin besar & membesar.

Upgrade diri di masa pendemi

Salah satu hikmah pandemi, kita diberikan akses lebih mudah untuk belajar dari mana saja, termasuk dari media sosial. Aku ingat dulu di tahun 2018, unuk belajar tentang financial planning basic, aku bahkan harus terbang dari Bengkulu ke Palembang untuk belajar. Harus menyiapkan biaya kelas, tiket pesawat, hotel & jajan uang jajan selama di kota orang. Tapi sekarang, ilmu gratis bertebaran, tinggal tergantung kita mau memetik ilmu itu atau tidak.


Selama pandemi ini, aku berkesempatan belajar banyak tentang keuangan, produktivitas diri & kesehatan mental. Masa-masa WFH, aku manfaatkan untuk mengikuti webinar atau live streaming di instagram & youtube. Semuanya tanpa biaya, hanya mengandalkan wifi di rumah & melawan kemageran diri. Terkadang, bukan hanya ilmu yang aku dapatkan, namun juga hadiah berupa saldo dompet digital, buku, sepatu dan lainnya. Alhamdulillah. Hati senang, dapat uang pula, maka nikmat mana lagi yang hendak aku dustakan?

Btw, selain senang upgrade diri melalui media sosial, aku juga akhir-akhir ini sering membuka sebuah portal berita yang kaya infomasi, INDOZONE, The Most Engaging Media for Millenials and Gen-Z. Beruntungnya aku terlahir sebagai generasi millenial, aku punya keleluasaan untuk mengakses infomasi dengan mudah. Dulu, zaman aku masih bocil, aku lihat bapak ibu langganan koran & majalah untuk bisa dapat kabar terkini, yang tentu saja sifatnya terbatas & ada biaya langganan. Sedangkan aku kini bisa menyerap banyak infomasi hanya dengan gawai dalam genggaman. Gratis pula.




Kali pertama berkenalan dengan INDOZONE, aku langsung jatuh hati dengan tampilannya. Tampilan websitenya simple, perpaduan warna basic putih yang dikombinasikan dengan warna merah, sangat Indonesia & nyaman di mata. Kecepatan websitenya juga bisa diandalkan untuk kita bisa leluasa mengakses fitur di INDOZONE.

Banyak fitur yang bisa kita akses di www.indozone.id, seperti #KAMUHARUSTAU, news, fakta dan mitos, game, tech, food, soccer, beauty, FYI, life, travel, health, movie, music, seleb, infografik, videografik & youtube. Favoritku adalah FYI, singkat, seru, dan tetap bisa membuatku mendapatkan banyak insight. Seperti di postingan mengenai Cara Kerja Cerdas Agar Pekerjaan Kantor Tepat Waktu, selain berbagi tips, INDOZONE juga menyertakan hasil studi dari jurnal. Suka deh, jadi membuat aku sebagai pembaca jadi kaya insight. Sekali berkunjung lalu datang lagi & lagi, karena berita di INDOZONE nyaman dibaca, up to date, temanya juga cocok untuk millenials & gen Z.

Kalau kamu juga ingin menikmati berbagai informasi penting & bermanfaat dari INDOZONE, kamu tinggal bikin akun di sana. Gampang banget, tinggal isi data diri, submit, done. Kamu udah bisa mengakses rupa-rupa informasi sesuai minat & kebutuhan kamu. Oh iya, ada informasi lowongan kerja juga loh. Sikaaat!

-

Ada yang bilang, media sosial itu bagai hutan belantara. Ketika memberanikan diri masuk ke sana, kita bisa saja tersesat hingga hilang. Tapi menurutku, kita bisa membuat ‘jalur aman’ kita sendiri. Siapa yang kita follow, postingan seperti apa yang kita izinkan mencuri perhatian, semuanya bisa kita pilih dengan penuh kesadaran. Ketika kita masuk ranah media sosial untuk memetik ilmu, lalu kemudian membagikannya kembali, semoga kita tidak akan pernah tersesat di dalam & luasnya media sosial. Apalagi di masa pandemi ini, saat-saat di mana kita perlu menyalurkan emosi dengan baik, tanpa menyakiti siapa pun, apalagi membuat lemah diri sendiri.

Semoga badai pandemi covid 19 ini segera berlalu. Namun, sembari menunggu saat indah itu tiba, kita bisa mencari ‘cekungan batu karang’ untuk berdiam dengan nyaman, tetap mengupayakan hidup riang & gembira, dengan segala keterbatasan yang tengah membelenggu kita. :)


2 comments

  1. Hai Kak, btw itu fotonya ko seperti di KEBUMEN ya?

    ReplyDelete
  2. Terimakasih tulisan dan infonya mbak Intan. Ngerasa 'dicubit' utk produktif di medsos di era pandemi ini. :*

    ReplyDelete

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^