Pedihnya Kehilangan Nikmat Sehat



Sebenarnya sejak seminggu lalu tulisan bertema “kehilangan” telah terketik rapi di tumpukan draft tulisan, menanti dipoles, menunggu dilengkapi foto dan gambar yang sekiranya akan membuatnya lebih hidup. Namun apadaya, saat nikmat sehat dicabut, sekedar untuk menggerakkan tubuh saja aku tak punya energi, apalah lagi untuk poles memoles tulisan?

Dan sore hari ini, di hari ke-22 bulan September, aku merasa denyut di kepala dan mual di perutku perlahan hilang. Ini waktu yang tepat untuk kembali melongok draft tulisan kan? Aih, tapi saat melihat tulisan tentang “kehilangan” yang seminggu lalu ku tulis, aku memutuskan untuk menggantinya dengan kehilangan yang baru-baru ini kurasakan.

Kenapa?

Karena sungguh, kehilangan nikmat yang satu ini, seakan menggerogoti semua kenikmatan lainnya. Kehilangan nikmat yang satu ini, tak hanya merampas daya, namun juga bahagia. Letih, perih, pedih ..


***


Bulan Juli lalu, ditengah hiruk pikuknya KKN dan padatnya jadwal siaran, aku terserang demam berdarah. Lupakan rasa sakitnya, tanyakan padaku seberapa besar rasa panikku saat penyakit itu menyerang. Ampun! Tak terbayang bagaimana aku bisa tenang ongkang-ongkang kaki di ranjang lebar, ditemani tumpukan majalah lama dan gunungan makanan buatan ibu. Aku tentu tak akan tenang berhari-hari, berminggu-minggu, sampai penyakit itu hilang.

Alhamdulilah, tak seburuk ketakutanku, tak genap seminggu pulang dari Rumah Sakit Charitas Argamakmur, aku sudah kembali berjibaku dalam kegiatan-kegiatan KKN yang luarbiasa padat, kembali lagi dengan tangguhnya bolak-balik ruang siar-lokasi KKN (1,5 jam menggunakan motor dengan kecepatan sedang). Dan jeleknya, aku kembali lagi mengulang pola makan yang buruk, pola tidur yang berantakan. Tapi ah masa bodoh, bukannya aku sudah sembuh? Mana ingat lagi aku sakitnya rasa sakit?



*kalo lagi sehat, lupa sakitnya sakit*

***

Berprofesi sebagai penyiar radio bisa dibilang susah-susah gampang. Nyantai kalo kita pandai ngatur waktu, letih kalo kita nggak tegas buat nentuin : mana yang harus dikerjakan, mana yang kudunya ditinggalkan. 

Sepertinya karena aku terbilang anak baru di dunia radio *baru 2,5 tahun ketemu microphone* aku belum berani tegas terhadap jadwalku sendiri. Sering aku memaksakan diri ikut kongkow padahal subuhnya aku siaran (jadinya sepanjang hari tanpa istirahat). Atau, dalam urusan makanan, aku sok kuat makan mie campur gorengan plus minum es kalo lagi bareng sama temen-temen, padahal ketiganya itu pantangan banget. Tapi demi nggak dibilang pilah-pilih makanan, akhirnya mereka-mereka itu sering masuk perut.

Dan puncak-puncaknya my dear world, setelah 3 hari memuaskan diri dengan berbungkus-bungkus bakso goreng, berpiring-piring bakso bakar, juga bergelas-gelas jus dingin dan es durian serta mengabaikan nasi, aku merasa badanku meriang, agak mual dan .. lemas. Panik mulai membayang, “bagaimana kalau seandainya sakit lagi?”, “bagaimana kalau demam berdarah lagi?” dan beragam “bagaimana” lainnya.

Dengan panik dan resah, aku coba menetralisir perasaan tak enak badan itu dengan menenggak bergelas-gelas air putih hangat, sapuan minyak kayu putih lalu terlelap tidur. Berharap esoknya rasa segar bisa hadir kembali menyelimuti tubuh. Namun apa daya, 8 jam istirahat tak mampu mengembalikan kondisi tubuh yang fit, meriang, mual dan rasa lemas semakin pekat saja aku rasakan. Dengan kondisi yang serba tak enak itu, masih ku paksakan juga siaran subuh (durasi 5 jam).


***


 Sepulang siaran, dengan sempoyongan aku langsung merebahkan diri ke kasur tipis satu-satunya di kost. Rasa tak enak di badan makin tak karuan. Ku putuskan menghubungi ibu, sebelum rasa sakitnya membuatku tak mampu menyentuh gadget lagi.

“Ibu, Intan sakit. Rasa-rasanya kayak mau DBD lagi”

Tak lama, handphoneku berdering. Ibu menelepon.

“Ntan, gimana rasanya? Sakit beneran?”

“Iya, bu.” Aku menyahut lemah.

“Tunggu ya, sebentar lagi ibu sama bapak ke Bengkulu. Nanti kita ke dokter Djaja.”

“Ibu mau ke sini, sekarang?”

“Iya, tunggu ya. Tahan sakitnya sebentar.”

Sambungan telepon terputus dan aku mulai menangis. Duh, ini yang paling aku sesalkan, kalau aku sakit, bukan aku yang paling panik, tapi bapak dan ibu. Aku mulai menyesal mengabaikan pola makan dan tidur beberapa hari ini. Duh, jangan sakit, badan!


***

3 jam kemudian, ibu dan bapak sampai di kost. Selepas sholat sebentar, kami langsung menuju tempat praktik dokter Djaja. Omong-omong, dokter ini langganan keluarga, sejak aku kecil. Maklum, dari bocah, aku udah akrab sama malaria *sakitnya awet nih*

Setelah antri sampai bosan, aku dapat giliran juga. Seperti dugaanku, pasti deh bakal cek-cek darah dan harus ketemu sama jarum suntik. Yihaaa, beneran. Aku dibawa ke laboratorium, terus lengan kanan ditusuk sama jarum. Whuaaaaaa, sakitnya sakit!

Setelah nunggu (lagi), hasil labor keluar. Dan terbukti, aku kena malaria campur typus. Eit, ada maag juga di sana. Pantesan, rasanya lemes plus perut mual nggak kira-kira. Ondeh, dokter bilang, aku harus banyak makan dan cukup istirahat. Dengan kepaksa, akhirnya keluarlah surat keterangan sakit buat kantor dan kampus. Nggak cuma itu, aku dititipi oleh-oleh berupa pil-pil gede dan sirup maag yang sukses bikin perut makin mual.



*oleh-oleh selepas sakit*

***

Aku kira waktu 3 hari udah lebih dari cukup buat beneran pulih. Tapi nyatanya, lepas dari seminggu (bahkan sampai aku nyelesaiin tulisan ini), aku tetep ketemu sama nasi garem, roti tawar dan makanan membosankan lainnya. Sampai seminggu berlalu, rasa mual masih bersemayam di perut, puyeng masih sering mampir di kepala dan rasa lemas belum bisa aku enyahkan sepenuhnya. Rasanya nyiksa!

Kalo udah sakit begini, baru kerasa nikmatnya sehat kan? Baru kerasa efeknya makan sembarangan, tidur berantakan, kalo nikmat sehatnya udah dicabut. Eh seriusan, apa sih rasanya nasi dendeng, nasi ayam, nasi sup sekarang? Apa masih sama kayak semingguan lalu? Seriusan, kangen makan makanan normal. Kangen hidup secara normal, yang nyaris tiap hari bisa jalan sama Dani, ngekek sama teh Vita. Sungguh, rindunya terlalu!


***

Ah, janji deh bakal lebih lebih lebih dan lebih perhatian ngejaga pola makan dan tidur. Nggak lagi-lagi jajan sembarangan, nggak lagi-lagi tidur sesuka-suka. Soalnya kalau sakit ..

1) Aku nyusahin banyak orang. Terutama bapak dan ibu, Dani, teteh Vita dan orang-orang terdekat lainnya. 

2) Nggak bisa siaran. Wuauuuu, aku nggak tega loh mau masukin surat izin sakit, sedang penyiarnya cuma seunyil, libur dalam sebulan cuma seunyil pula. Kalo yang satu sakit, yang lain jadi susah, jadi lebih capek dari biasa.

3) Nggak bisa kuliah, Ampuuuuun, bentar lagi udah kudu magang di sekolah, harus mulai ngegarap skripsi juga. Aku nggak mau ketinggalan kereta dong, orang lain tamat, aku juga kudu tamat (April, aamiin).

4) Nggak bisa makan enak. Sejak sakit (seminggu lebih) aku cuma selera makan nasi garem, paling kenceng makan nasi campur telur rebus asin. Kalo ketemu ayam? Ayamnya bisa keluar lagi. Errrrrrrr!

5) Nggak bisa ngapa-ngapain pokoknya. Kegiatan kayak nulis, baca dan hal-hal enak lainnya juga nggak bisa aku lakuin, cuma bisa ongkang-ongkang kaki sambil dengerin radio. Sehari dua hari sih oke-oke aja, kalo lebih dari itu? Bosennyaaaaah!

Pokoknya pengen sehat, sehat, sehat dan selalu SEHAT yeay!

*ini unyunya pas lagi sakit*

*nah kalo ini cantiknya pas lagi sehat. hihiiii*

3 comments

  1. senangnya sudah bisa ceria lagi. nikmat sehat baru terasa ketika kita sakit. Semoga selalu sehat ya...

    ReplyDelete
  2. semoga selalu sehat ya.. Semoga sukses giveawaynya...

    ReplyDelete
  3. laaahhh... makannya bakso2an gitu bukan makan nasi. mana si bakso banyak pengawet dan tambahan rasa >.< gak boleh dikit2 maem si pentol lagi looooh, ntr kambuh lagi

    jaga diri ya Tan... biar sehat selalu, Ibu gak kepikiran :)

    ReplyDelete

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^