Senja Awal Mula



Semilir angin senja menemani aku dan dia, di bawah pepohonan taman kampus. Rasanya ingin melonjak riang dan menjerit ketakutan dalam waktu bersamaan. Riang karena bisa berjarak sedekat ini lagi dengannya. Diiringi takut. Takut kalau-kalau pertemuan ini akan memperjelas sejelas-jelasnya statusku dihatinya.

“Dan, aku nyesel. Bener-bener nyesel. Kalo aku tau tindakan bodoh semalam bakal berdampak sehebat ini, aku nggak akan pernah berani ngelakuinnya.”

Aku menahan tangis dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Awalnya aku berharap, kita akan selalu sama-sama, semarah apapun aku, semarah apapun kamu ..

“Dan aku kira, semarah apapun kamu, nggak akan ada kata putus yang keluar dengan entengnya hanya gara-gara masalah sepele yang harusnya nggak berefek apa-apa.” Potongnya. Ada bulir kecewa yang jelas-jelas menyusup dalam kalimatnya.

Deg. Telak. Luncuran kalimat itu seakan membekap mulutku. Membawa perih hatiku pada kejadian semalam.


***


“Sayang, pinjam handphone dongg.” ujarku manja sembari bersandar dengan nyaman di bahunya. Ini malam minggu, malam yang memberi kesempatan untuk dekat lebih lama, akrab lebih panjang, serta lebih berani membayangkan mimpi dan masa depan.

“Manjanyaa ..” Dani terkekeh, menoel hidungku pelan, sambil menyodorkan ponselnya.

Bukan hobiku sebenarnya menjelajahi isi ponselnya. Toh, aku yakin “takkan ada apa-apa di sana”, tak kan ada yang bisa menyebabkan resah hati, gelisah diri. 
Sumber : http://nandangjp.blogspot.com/

Tapi ..


“Ini Niki mana?” ujarku dengan nada penuh merajuk.

“Teman sekelas zaman SMA yang..” Dani menjawab tak acuh, perhatiannya masih tersedot si monyet dalam game Benji Bananas.

“Kenapa chattingan sama dia?” kekanakan, aku mencecernya lagi.

“Duh, kan sayang udah baca, isinya cuma minta pin temen SMA. Bentar lagi kan bulan puasa, yang. Biasanya ada buka bareng, nah, kan aku udah bilang mau ngajakin sayang ikutan.”

“Tapi kenapa harus minta pin yang cewek, kenapa ga yang cowok aja?”

“Karena biasanya cewek yang suka nyebar info kapan ngumpul bareng. Udah, percaya sama aku. Lagian, kalo sayang udah ketemu Niki, dijamin nggak akan cemburu deh.”

Aku masih merengut. Dani gemas, menarik lembut tanganku, mengecupnya pelan. “Percaya sama aku.” pungkasnya.  

Entah kerasukan jin gengsi darimana, aku belum luluh atau emang pengen cari perkara? Cemberut, marah bercampur cemburu tanpa alasan menguasai diri. Dani yang merasa tidak menyimpan salah pun akhirnya tertular kesal, “Hmm, ya udah deh kalo sayang masih mau ngambek, aku pulang yaa. Tapi beneran, harusnya nggak ada yang perlu sayang cemburuin.”

“Ya udah pulang aja sana, nggak usah ke sini lagi.” Aku makin ngelunjak.
Sumber : http://suwandy-xg.blogspot.com/

Dani makin ikut kesal, dia beranjak, benar-benar ingin pulang.

Aku yang makin marah dan merasa diabaikan langsung mengeluarkan jurus pamungkas, “kita putus”. Ups, hanya sedetik kemudian untuk menyadari kalau ucapan itu kehilangan kontrol, mengalir begitu saja dengan emosi yang meluber. 

Dani terkesiap, lantas dengan gerakan cepat meninggalkanku dalam pekat malam.

Berdetik-detik aku mematung, lantas menyadari apa yang harus aku lakukan. Ya, menghubunginya. Meminta maaf, lalu menjelaskan betapa kata “putus” sama sekali tidak termasuk dalam daftar kosakataku saat ini. Tidak sekarang. Tidak nanti.

Namun,

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”

Deg. Suara mbak-mbak operator di seberang sana membuat degup jantungku kian berpacu dengan resah. Hingga pukul 1 dinihari, kalimat yang diucapkan si mbak operator tak kunjung berubah.

Airmata penyesalan merembes tanpa jeda, aku menggigil dalam tangis yang kian pedih sambil berucap, “Maaf Dan.. maaf..”

Berulang kali kata-kata itu terucap, hingga lelah, hingga letih. Lalu tertidur dalam lelah jiwa.


***


“Bukannya kita udah berkomitmen, nggak akan pernah mengeluarkan kata terlarang itu? Apa boleh, kalo kesal tinggal bilang putus, lah nanti di masa depan, seenak dan semudah itu juga bilang cerai? Kita udah punya komitmen untuk tetep sama-sama, gimanapun kondisi hatinya kita.”

Tenggorokanku tercekat. Menyesal yang sebenar-benarnya menyesal menyumbat di sana.

“Maafin Intan, Intan salah. Salah banget. Tapi Intan nggak punya niat untuk pisah sama Dani. Nggak ..”

Hening lama. Lalu …

“Aku juga nggak mau pisah sama Intan .. Bisakah kita coba awal yang baru sayang? Tanpa emosi berlebih, tanpa ketergesaan sikap, tanpa terlalu grasak grusuk memutuskan sesuatu dalam amarah?”

Aku menoleh kaget, menemukan wajahnya sedang memandangku penuh senyum, juga harap.

“Kitaaa .. akan coba lagi? Dani nggak marah lagi? Kita nggak akan pisah?”

Dia merengkuh kepalaku mendekat, lalu mengusapnya pelan, “Jangan pernah sembarangan ngomong putus lagi. Aku sayang sama Intan. Sayang banget. Nggak usah diraguin lagi.”

Aku mengangguk penuh senyum, dia pun sama.
Sumber :http://alharitsirfan.blogspot.com/

Pada senja indah sore itu, kita membangun janji, untuk kembali memulai dengan hati. Jika memang masih cinta, kenapa harus meminta pisah?





No comments

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^