Inokari dan Sejarah Diri



Duluuuuuu banget, pas masih berseragam putih-merah sampe putih abu-abu, aku suka baperan dan ngerasa hidup aku kisahnya nggak banget. Nggak keren. Nggak bisa dibanggain seujung kuku pun. Malah malu-maluin.

Tapi perjalanan yang bikin mata aku terbuka kalo yaaa .. nggak ada tuh hidup yang sempurna. Plus, nggak ada yang bisa milih terlahir jadi anak siapa, kisahnya bakal bagaimana dan beragam printilan lainnya.

Kita lahir ke dunia dengan paket lengkap, berikut orangtua, keluarga dan takdir-takdirnya. Ga bisa milih semau-mau kita ya kan?




Dan kisahku dimulai saat ..






Mama dan papa bercerai ..







Kalo dulu boleh request, aku bakal minta mama papa cerai pas aku udah gede, udah bisa nyari duit sendiri, ato sekalian pas aku udah nikah. Biar sedihnya ga begitu kerasa. Haha *anak egois.

Nah ini, mereka cerai pas aku belum lagi genap 5 tahun, masih lucu-lucunya, masih gembul-gembulnya, dan tentu aja masih bego-begonya buat ngerti apa itu perceraian. 


Tau-tau kami udah ga tinggal bertiga. Tau-tau sosok papa udah digantikan sosok nenek kakek. Tau-tau pas aku masuk sekolah, aku suka diledekin “ih, Intan ga punya papa”. Tau-tau, aku bertransformasi jadi anak yang gampang baper dan jadi drama queen. Gampang sedih, gampang emosi, jadi gampang curigaan dan iri sama anak lain yang bisa gandeng mama papanya dengan bahagia.

Gawatnya lagi, aku nyimpan semua perasaan itu rapat-rapat. Aku berlindung di balik wajah penuh senyum, ketawa, sikap yang patuh, nilai akademis yang ciamik, dan hal-hal ‘terkontrol’ lainnya. Dari luar aku terlihat selalu ‘baik-baik saja’, totally happy. Siapa sangka, jauh di dalam hati, aku kerap merasakan kekosongan yang menyiksa. Betapa aku ingin hidup baik-baik saja. Bersama papa mama. Tidak harus memilih salah satunya.


Sekian tahun berlalu ..


Mama menikah lagi.



Mama akan menghadiahiku adik bayi yang lucu.



Waktu itu aku merasa kisahku telah usai.
Rasanya ini lebih buruk dibanding kiamat.



Meski sedih bergelayutan di hati sejak zaman bocah, tapi aku merasa masih punya mama. Mama yang kerap menghadiahiku pelukan hangat dan ciuman sayang di puncak kepala. Mama yang selalu memastikan bahwa tak ada kebutuhanku yang tak terpenuhi. Mama yang aku yakini menjadikan aku –putri tunggal tersayangnya- sebagai prioritas hidup. Tak ada yang lain.

Saat mama menikah, aku rasa kisahku dan mama tamat sudah.

Bayangan bahwa papa tiri itu mengerikan, mengusik jiwaku hingga ke akar-akarnya. Menyesakkan. Tapi yang membuatku nyaris seperti kehabisan udara kehidupan, karena memikirkan mama telah kehilangan rasa sayangnya padaku. Beliau akan menduakan cinta, sayang, perhatian dengan sosok asing yang sampai detik ini aku anggap tak lebih dari sekedar ‘suaminya mama, bukan papaku’.

Aku pun ‘melarikan diri’ ke rumah kakak kandung mama, yang aku panggil ibu. Ibu dan bapak –suaminya- sudah lama menikah, namun tak kunjung dikaruniai seorang bayi lucu. Aku pikir, aku bisa menjadi ‘satu-satunya’ sekaligus menjadi pusat dunia, jika memilih menjadi bagian keluarga ibu dan bapak. Toh sejak dulu, mereka juga sudah beberapa kali meminta agar aku dan mama tinggal bersama mereka agar mereka dapat membantu membesarkanku. Keputusanku bulat sudah.  

Selamat tinggal mama. Aku pun bisa punya keluarga baru. Seperti mama.



Nyatanya, meski ibu dan mama adalah kakak beradik kandung, aku tak pernah bisa menemukan sosok mama pada ibu.

Mama adalah mama. Dengan segala spontanitasnya, dengan segenap kelonggaran yang beliau beri untukku, dengan semua keseruan hari-hari yang pernah kami kecap berdua. Manis. Bagaikan sepasang sahabat lintas generasi.

Ibu adalah ibu. Dengan segala keteraturannya, dengan kepadatan jadwal yang ia titipkan padaku, dengan kekakuan hari-hari yang kami lalui. Hambar. Bagaikan seorang atasan dengan bawahan. Meski aku tau, ibu juga menyayangiku.

Kadang-kadang (atau malah teramat sering) aku merindukan mama. Berharap waktu bisa ditarik mundur, menghalangi beliau menikah lagi dengan ancaman bunuh diri misalnya? Tapi aku terlalu tinggi hati untuk mengakui. Pada satu fase kehidupan lagi, aku kembali terlatih untuk berpura-pura. Memasang topeng “i’m totally normal & happy!”.


Sekian tahun perasaan ini memelukku erat. Kadang menghadirkan kekuatan, kadang menyemburkan kesedihan.


Di balik semua kesialan yang berhubungan dengan kasih sayang keluarga, aku mendapatkan hal-hal baik. Aku suka dengan semangat menggebu yang kerap kali hadir dalam diri, antusiasme yang menjadikanku benar-benar hidup, serta pikiran positif yang kerap aku paksa hadir jika sudah berhadapan dengan hal-hal ‘non-family’. Hal itulah yang menjadikanku yang berotak biasa-biasa saja ini, bisa menjadi juara kelas abadi, dari SD hingga SMA. Full. Hmm, tapi barangkali ini adalah upaya ‘mencari perhatian’, ingin menyadarkan betapa menyedihkan mama yang telah menyia-nyiakan gadis kecil  teladan ini.  

Semangat yang menggebu pula yang menjadikan namaku hadir di daftar pemenang banyak lomba semasa sekolah hingga di dunia kampus. Hal yang menjadi pelepas dahaga dari kurangnya rasa bahagia. Hmm, tapi barangkali semua kesibukan mengikuti lomba-lomba ini adalah semacam pelarian agar hati tak melulu menekan rindu pada mama.

Barangkali semua kegetiran di masa lalu pula yang membuatku begitu tekun menjajaki passionku di dunia broadcasting. Dunia yang dengannya aku mampu mengabaikan luka. Yang di dalamnya aku merasa bisa menjadi versi terbaik seorang Intan. Well, dari sekian banyak hal baik yang aku peroleh, aku memasukkan ‘dapat kerja di tempat yang aku cintai setengah mati tanpa memasukkan surat lamaran dan kongkalikong itu’ sebagai prestasi yang wajib dikenang sepanjang masa. Yah maklum, tau sama tau kalo sekarang ‘titip menitip’ saat masuk dunia kerja barangkali bukan hal tabu. Menyadari bahwa kisahku adalah pengecualian, itu menyenangkan. Betapa dukungan semesta dan keajaiban memang ada. Bahwa semesta melihat setiap detail usahamu dan akan memberikan dukungan, jika kau memang layak didukung.

Ini adalah hidup terbaik yang aku punya. Dengan segenap kisah menyenangkan mau pun tidak.

Ada bagian manis, ada pahit.

Ada sisi terang, ada sisi gelap.

Ada bahagia, ada kesedihan.

Semua berpasangan. Sesederhana organ tubuh kita yang juga memiliki pasangannya agar dapat berfungsi dengan baik.

Satu yang aku tau, sebelum kita datang ke bumi, kita memang tak bisa ‘request’ apa pun. Kita menerima paket komplit yang telah Tuhan tentukan.

Namun saat kita telah menjelma menjadi manusia yang senantiasa tumbuh, kita berhak menentukan jalan hidup kita sendiri (tentu saja dengan mempertimbangkan ‘ya atau tidak’ dari Tuhan). Kita tak bisa memilih fisik seperti apa yang akan kita punya, memilih berperan sebagai siapa di dunia. Semuanya terima jadi. Namun tentu saja kita berhak menentukan pakaian seperti apa yang akan kita kenakan, ekspresi wajah seperti apa yang mayoritas akan kita hadirkan.

At the end of long journey, semua orang berhak bahagia. Termasuk aku. Termasuk kamu.  





7 comments

  1. ahaaai... sejalan dengan apa yang kutuliskan di kisahku mbak... "keluarga boleh hancur, tapi kita tidak..." and yes, we deserve to be happy... semangat mbak...

    aku malah dulu selalu nyuruh ibuku cerai dari bapak... pusing denger mereka bertengkar mulu tiap hari :D

    ReplyDelete
  2. Makasih sudah ikutan GA pertama saya ya...
    kisahnya menginspirasi... ;)

    ReplyDelete
  3. Setiap kisah memiliki cerita yang tak mungkin kita bentuk sendiri, karena ada Tuhan yang telah menentukan bagaimana skenario itu mesti kita jalani.
    Eh tapi Intan bisa menuliskannya dengan baik, moga jadi inspirasi bagi pembaca ya. moga sukses ngontesnya :)

    ReplyDelete
  4. saya belum pernah sekalipun tahu isi hati seorang anak dimana orang tuanya bercerai, sampai membaca ini. Yang saya tahu, pasti menyakitkan dan menyedihkan. Dan ternyata memang. Alhamdulillah Intan bisa lari pada hal positif ketika rasa yang sangat tidak nyaman itu hadir.

    ReplyDelete
  5. Perceraian dibenci Allah tapi karena satu hal dan lainnya hal itu harus terjadi, anaklah yang menjadi korban, tapi salut sama mba intan bisa melalui hal ini dan menjadi pribadi yang luar biasa.

    ReplyDelete
  6. tetap jadi yang terbaik ya Intan :)

    ReplyDelete
  7. Turut bersimpati atas perasaan Intan. Kurang lebih aku pernah merasakan hal yg senada terkait masalah keluarga. Meski judulnya bukan cerai sih. Meski begitu, semoga waktu mendewasakan kita :).

    ReplyDelete

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^