Tahun ke-4 Menjadi Penyiar Radio







Aku nggak pernah menyangka kalo keputusan buat gabung jadi bagian sebuah radio kampus beberapa tahun lalu, akan membawa aku sampai ke titik ini. Sebuah titik di mana cuap-cuap di box siaran bukan lagi hanya sebatas hobi, melainkan udah jadi pekerjaan buat beli sebungkus nasi. Aku ada di sini sekarang, meski Intan kecil nggak pernah bercita-cita buat jadi penyiar radio. Nope!

Bukan karena aku menganggap bahwa jadi penyiar itu nggak keren atau nggak layak dimasukkan dalam list cita-cita. Tapi memang di keluarga besar kami, profesi yang dijalani nyaris homogen : kalo nggak guru, ya jadi pegawai kantoran yang pergi jam 8 pagi, pulang jam 5 sore itu. Jadi, aku ini semacam ngasih warna baru di jenis-jenis pekerjaan anggota keluarga : penyiar radio.

Bukan tanpa drama, pernah diancam nggak boleh balik ke rumah lagi, nggak bakal dikasih uang jajan, bahkan diancam nggak dibolehin lanjutin kuliah. Hehe. Karena di mata orangtua aku, siaran di radio itu sama sekali bukan sesuatu yang layak diseriusi, emang bisa gitu nyari makan dari jualan suara di box siar?

Nyatanya bisa. Sangat bisa!





Tapi nggak instan. Sama lah kayak aku membangun blog ini. Setahun dua tahun, jalannya masih remang-remang, belum jelas mau dibawa ke mana, mau dijadikan apa. Tahun ketiga, sinar benderang mulai pelan-pelan menyinari. Kalo sabar, apa sih nggak bisa didapetin?

Aku memulai langkah di dunia broadcasting beneran dari NOL besar. Kayak yang aku bilang tadi, nggak ada satu pun anggota keluarga kami yang kerja di ranah media, apalagi radio. Aku suka dengerin radio dari SMP. Belajar siaran secara otodidak. Ikut pelatihan yang diadakan radio di kampus, lantas kemudian siaran perdana di sana. Masuk radio swasta. Ikut kompetisi penyiar di radio tempat aku bernaung sekarang. Lalu diterima jadi salah satu angkasawati dan siaran dengan segala manis asem asinnya.

Drama sih selalu ada lah ya. Apalagi waktu kaki masih di dua tempat berbeda. I mean, aku masih kuliah loh itu waktu mulai kerja di radio tempatku sekarang. Sempat kena typus pas KKN (kuliah kerja nyata) karena energi dan fokus terbelah di dua kegiatan : ngurusin KKN sama ngurusin kerjaan. Atau pas baru kelar ujian proposal skripsi dan lagi di masa sibuk, aku justru nerima SK buat pindah ke kota kabupaten di pojokan selatan Bengkulu. Kelar drama-dramaan soal kuliah dan kerja, drama lain mengalihkan perhatian. Galau lagi lihat teman-teman yang lanjut S2 Fisika (iya, aku kuliah S1 kemarin jurusan Pendidikan Fisika, ga ada kaitan sama sekali dengan dunia broadcasting hihi), sedangkan aku dari tahun ke tahun hanya berkutat di box siar bertemankan mixer dan microphone.

Ada semacam perasaan, ‘masa sih aku gini-gini aja?’

Atau malah ‘aku cepak kerja! Temen aku enak banget, dibiayain kuliah S2 sama orangtuanya!’

Manusia manusia! Pas belum dapat restu orangtua buat siaran, aku setengah mati jungkir balik meyakinkan kalo radio adalah tempat paling pas buat aku. Pas masih kasrak kusruk menyelesaikan kuliah, aku berdoa mati-matian biar bisa lepas dari jerat Fisika selamanya. Justru saat aku punya waktu lebih untuk mendedikasikan diri buat radio (uhuk), aku malah semacam kehilangan energi, sempat kehilangan keyakinan buat kerja di radio selamanya pula.

Up and down.

Wajar lah ya. Balik-balik lagi, aku curhat ke orangtua, tentang kegelisahan akan masa depan, tentang kerjaan aku yang jamnya nggak bisa ngikutin jam kantor pada umumnya. Tentang rasa sedih karena udah berkali-kali nggak bisa ikut lebaran bareng atau menikmati tanggal-tanggal merah seperti pekerja lainnya. Konsekuensi kerja di media. Sempat loh aku minta tiket S2 di Jogja aja saking capek kerja. Haha. Tapi itu nggak lebih dari emosi sesaat. Aku yakin, di relung hati paling dalam, aku memang cinta sama pekerjaan ini.

Aku mengisi ruang kosong bernama sepi. Entah itu di hati, entah itu di mimpi, entah itu diperjalanan panjang yang membosankan. Aku menemani jiwa-jiwa yang tengah patah hati, juga menyemarakkan hati yang ditengah dibuai cinta. Tentang suaraku di udara, adalah tentang menjadi teman dekat bagi siapa saja. Karena setiap telinga harus diistimewakan, bukan?

Di dunia nyata, aku nggak pernah menyembunyikan identitas bahwa aku adalah orang yang kerja di radio sebagai penyiar. Meski ada pula tipe-tipe penyiar yang lebih suka orang-orang nggak tahu kalo mereka penyiar. Takut mengecewakan fantasi pendengar ketika mereka tahu bahwa suara empuk yang mereka kagumi setengah mati, ternyata milik seseorang yang jauh dari bayangan.

Aku malah sebaliknya, menikmati saat kenalan sama orang-orang yang lebih dulu ‘kenal’ aku lewat suara, lalu kenalan di dunia nyata. Biasanya mereka bakal kaget. Karena di bayangan mereka, Intan itu bukan dalam wujud cewek berpipi tembem dengan tinggi 150 cm saja, melainkan tinggi semampai dengan wajah tirus menggoda. Haha. Sialan memang! *maafkan aku yang merusak fantasi-fantasi nakal kalian wkwk

Di blog ini, aku lumayan sering menulis tentang radio, di bio media sosial aku juga selalu mencantumkan embel-embel ‘radio announcer’, di motor yang aku pakai pun ada aksesoris motor berupa sticker radio tempatku bekerja. Meski saat kecil, jadi penyiar radio nggak masuk list cita-cita, setelah nyaris 4 tahun mencari makan lewat suara yang meyapa di udara, aku punya porsi cinta yang besar untuk profesi ini. Profesi pertama yang aku lakoni dengan penuh perjuangan untuk sampai ke titik ini.

Drama itu pasti ada. Rasa bosan juga pasti pernah melanda. Jalan cerita juga nggak tertebak. Bisa jadi esok hari ada goresan takdir yang menuntunku untuk jadi guru Fisika, untuk jadi full time blogger, untuk jadi PNS di perpustakaan daerah (selain radio, aku cinta buku-buku pake bangeeet!), untuk jadi ...  pendamping hidup kamu barangkali? Eh. Haha. Duh, Intan gagal fokus!


Nggak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di hari esok, memang. Tapi selama aku masih punya kesempatan untuk jadi angkasawati yang baik dan benar, aku nggak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Lagi pula, hukum alam ini masih berlaku kan? Bahwa semesta tidak akan pernah salah menempatkan seseorang pada tempat yang memang layak ditempatinya. Just do your best!

12 comments

  1. Me too, ga pernah kepikiran jadi Guru Ekskur, tapi malah ini pekerjaan rutin saya ditambah freelance. Dan memang ya, terkadang kita diberi sesuatu yang bahkan belum pernah terbayangkan sebelumnya, untuk membuat satu pengalaman berbeda buat kita.

    Allahuakbar :) saya pun merasa lebih bahagia

    ReplyDelete
  2. Jadi kangen siaran :( aku 4 tahun dri masuk kuliah gabung di radio kampus, dapet banyak banget pengalamannya apalagi dapet networking, jadi kangen 4 tahun lalu hihi

    chamtea.blogspot.co.id

    ReplyDelete
  3. Intan... pekerjaan orang itu sawang sinawang. Pokoknya apapun pilihanmu selama kamu enjoy kerjakan. Nggak harus jd pegawai kantoran, jd penyiar radiopun keren. Aku salut ama kamu masih muda punya byak prestasi

    ReplyDelete
  4. Weee...sama nih. Saya dulu juga jadi penyiar di radio kampus selama setahun. Habis itu pindah siaran di radio swasta selama 5 tahun. Dulu pas awal siaran juga masih kuliah. Ortu pun juga nggak dukung saya siaran. Kerjanya dibilang nggak jelas. Padahal jadi penyiar itu enak ya. Habis siaran, ada pendengar yang bawain makanan. :D Tahu nomor telepon kita, tetiba hp sudah muncul sms, dapat kiriman pulsa (walaupun yang ngirimin pake nodong minta dibales pesennya :D). Ditawarin jadi MC, dapat duit. Disuruh ngisi seminar, dapat bingkisan. Bahkan sampai ditawari pekerjaan lain tanpa kita repot ngelamar segala. Hihihi.

    Hanya enggak enaknya kalo kita ngadepin pendengar yang aneh. Nggak nyaman banget dengan mereka ini.

    Tapi sekarang saya sudah mantan kok. Menikmati jadi emak erte saja. :D

    ReplyDelete
  5. Kalau memang cinta harus diperjuangkan. Daripda pilih jalan lain tpi ga cinta yg ada tersiksa *halahh

    ReplyDelete
  6. wah kalo saya pendengar radio sejati. seneng deh kalo radio ada yang siaran dan gak melulu lagu or iklan, karena rasanya di jalan jadi ada yang nemenin hehehe.

    ReplyDelete
  7. aku justru memandang penyiar itu keren lho
    bisa bicara teratur dan cepat "nyamber" umpan lawan bicara

    ReplyDelete
  8. wah dulu aku pingin jadi penyiar tapi gak kesampaian

    ReplyDelete
  9. Nak, kalau sudah enjoy nikmati aja, nanti prestasi dan karir akan mengikuti, jadi penyiar itu buat ku keren banget lho

    ReplyDelete
  10. uwuwuwu kereeen yeee.
    Aku yang anak komunikasi aja masih kacau beliau kalau siaran hahaha

    ReplyDelete
  11. Aku malah seneeeeeng dunia public speaking dan broadcast dari jaman SMA dulu Tan. Sempet dua tahun siaran dan itu menjadi kenangan manis yang punya tempat tersendiri di hati :').

    Sampai sekarang masih pengen banget gitu. Meski sudah jadi ibu-ibu. Pengen kaya Shahnaz Haque, hihi. Tapi kesempatan itu belum datang. Kalaupun nggak akan bisa nyicipin siaran lagi, paling enggak sudah pernah merasakannya. Ye nggak?^^

    ReplyDelete
  12. Saya juga sempat jadi penyiar radio, bahkan pernah bercita-cita pengen jadi penyiar profesional tapi ternyata takdir berkata lain. Saya jadi IRT aja deh....

    ReplyDelete

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^