Mencoba Ikhlas Kala Keindahan Duniawi Tak Berpihak Padaku



“Ibuuu, adek lapar. Adek mau makan.” Si bujang kecil kesayanganku merengek, sembari menarik-narik ujung rokku yang kusam.

“Sabar ya, sayang. Hari ini ibu dapat uang kok. Beberapa jam lagi, adek pasti bisa makan enak. Adek mau makan apa? Ayam bakar? Goreng? Atau mau bebek, nak?” kata-kataku mampu menyihir adek, seketika raut lemas di wajahnya berganti dengan binar harapan yang terang.

“Beneran bu? Adek mau makan bebek panggang pake kecap yang banyak. Oh iyaa, sama kerupuk ikan & tempe bacem juga ya, buu.” Adek melonjak-lonjak riang.

Aku mengangguk sembari membelai kepalanya penuh sayang. Usai berpamitan dengan jantung hatiku itu, aku segera mengayuh satu-satunya kendaraan di rumah petak kami, sepeda ontel tua yang dibelikan suamiku beberapa waktu lalu. Meski tua dan karatan di sana sini, bagiku sepeda ini adalah salah satu harta dunia paling mewah yang mampu kami miliki.


***

Alhamdulilah.. Gajian bulan ini bisa membuatku menghela nafas lega. Setidaknya, 15 hari ke depan, aku tak usah pusing memikirkan biaya makan untuk kami bertiga. Meski hanya dengan lauk tempe, goreng teri atau oseng kangkung. Alhamdulilah, itu sudah lebih cukup untuk kami.

Pekerjaan apa pula yang hanya menghasilkan pundi rupiah sesedikit itu? Maklum saja, aku hanya buruh cuci, yang sesekali nyambi tukang setrika, tukang potong rumpat dan berbagai pekerjaan serupa guna mencari lembaran rupiah untuk bertahan hidup. Ya, hanya untuk bertahan hidup. Aku sudah mengubur jauh cita-cita untuk berpendidikan tinggi, punya banyak uang, bisa memiliki apa-apa saja yang aku mau, jauh-jauh hari kala aku benar-benar sadar, bahwa takdir dunia tak mengizinkan aku berada di puncaknya. Hanya berputar-putar saja di bagian bawah roda kehidupan. 
Sumber : http://fsialkaun.wordpress.com/2008/11/06/kisah-sedih-si-gadis-miskin/

Apakah aku tak berusaha? Sudah, beribu-ribu usaha telah ku tempuh. Tapi, apakah kau mau sependapat denganku, bahwa ada hal-hal tertentu yang tak dapat kita paksakan? Ada kalanya kita harus belajar menerima kenyataan, bahwa memang sudah begitulah suratan takdirnya. Aku bukan pasrah, bukan pula menyerah, aku hanya ingin belajar menerima. Menerima dengan ikhlas. Berusaha memahami dan mengerti, bahwa untuk bahagia tak ada syarat untuk meraihnya. Tak butuh tumpukan uang, tak butuh bergudang harta, berhektar tanah. Aku, kami, hanya butuh keikhlasan dan sebesar-besarnya syukur.


***

Dulu, ketika pemahaman tentang ikhlas belum terpatri di dadaku, aku selalu menganggap bahwa lahir ke dunia sebagai diriku adalah kutukan yang benar-benar memuakkan.

Aku kecil besar dalam lingkungan keluarga yang kasar, penuh cacian, penuh perendah-dirian. Bersama dua orang paruh baya yang bukan orangtuaku. Orangtuaku menitipkan aku di rumah bak neraka ini, setelah mereka menyerah untuk mencari pundi rupiah, mereka merasa tak akan mampu memberikanku kehidupan yang layak. Padahal, seharusnya mereka tau, di rumah ini pun, tak pernah aku berhasil mengecap secuil bahagia. Mana bisa aku bahagia dalam keadaan penuh siksa? Mana bisa?

Aku remaja memilih kabur dari rumah bibi dan paman, lari merantau ke daerah yang *aku harap* bisa mengubah nasibku ke jenjang yang lebih baik. Berbekal sekantong uang recehan yang aku kumpulkan sejak seunyil hingga meremaja dengan susah payah, aku kabur ke Bengkulu, menggapai asa lewat bantuan seorang teman baik yang bersedia memberikan tumpangan.


Sial. Mendapatkan pekerjaan untuk seseorang yang tak sempat menuntaskan bangku SD seperti aku rupa-rupanya bak mencari jarum di tumpukan jerami. Susah luarbiasa. 3 bulan di Bengkulu, aku hanya luntang-lantung, menghabiskan receh demi receh yang aku punya. Hingga nyaris habis tak bersisa.

Hingga aku mulai melakoni pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tak pernah terbersit di pikiran, jadi tukang pembersih jalan berseragam orange. Sayang, tak lama aku mampu bertahan dengan pekerjaan itu, bukan malu, bukan gengsi, hanya saja pihak yang memberiku gaji kadang tak punya otak. Bagaimana bisa mereka membiarkanku tak menggenggam rupiah kala telah 90 hari menyapu jalanan dengan tekun? Aku disuruh makan daun, heh?

Aku keluar. Lalu menjajal pekerjaan demi pekerjaan. Tukang cuci, tukang setrika, semuaaaa aku jalani agar bisa memperoleh sesuap dua suap nasi penyambung hidup. Bukan sekali, dua kali aku merasa hidup ini begitu berat dan tak adil. Sejak kecil *bahkan mungkin sejak lahir*, aku tak pernah merasakan ‘nikmatnya hidup di bumi milik Tuhan ini’. Yang ada hanya kesusahan demi kesusahan yang senantiasa menghimpit, mencengkeram urat harapan hidup yang aku punya.

Hingga, ada seorang laki-laki berkulit legam yang berprofesi sebagai kuli bangunan, meminangku untuk menjadi istrinya. Mungkin kala itulah, aku merasakan kebahagiaan pertama yang aku punya. Setidaknya, dari bermilyar-milyar manusia di muka bumi ini, ada satu yang menginginkanku menjadi pelengkap hidupnya. Aku menerimanya. Kami menikah.

Sumber : http://doalangit.wordpress.com/

Beruntungnya aku. Suamiku ternyata orang baik dan berhati lembut. Meski dalam segi ekonomi kehidupan kami begitu morat marit. Bahkan terkadang harus cukup puas mengunyah nasi keras bercampur garam. Aku pelan-pelan belajar menikmati ritme hidupku. Belajar nrimo ..


                                                                            ***

Dan sekarang, kala pemahaman ikhlas telah merasuk. Aku tak menyesali satu inchi pun jejak kehidupan yang aku punya. Biarlah miskin selamanya, tapi aku masih punya suami dan anak yang penuh cinta. Biarlah tak bisa lagi bercita-cita untuk menggenggam dunia, setidaknya aku masih bisa bahagia dengan caraku sendiri. Biarlah .. Aku ikhlas.  

 Bukankah hidup ini sementara? Itu tandanya kemiskinan dan ketidakpunyaan kami juga hanya sementara, bukan? Hidup di dunia hanya numpang singgah dan berteduh semata, dan aku ingin singgah dengan bahagia. Bagaimanapun takdir menyeret dan mengobrak abrik hati dan duniaku.

 
Sumber : http://ghyefuytnmkhlghyiu87nkjlhn.blogspot.com/2012/02/kesabaran-seumur-hidup.html


Lot of Love,

Aku


Note : Aku adalah seorang narasumber acara radio Badai Pasti Berlalu di RRI PRO 2, beberapa waktu lalu. Semoga menginspirasi :’)


“Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS”


5 comments

  1. Ikhlas membuat bahagia ya Mak. Moga sukses GAnya :)

    ReplyDelete
  2. asyik....
    ikhlas bisa melenyapkan anggapan kutukan... mantep...

    *baru ngeh kalo empunya blog ini org yg smaa di blog http://intannovrizakamalasari.blogspot.com/ , ini khusus lomba kayaknya*
    pokoknya, sukses ya...

    ReplyDelete
  3. keren blog ini... ada spesialisasi tulisan di dalamnya. makasih ikut give awayku mak

    ReplyDelete
  4. keren blog ini... ada spesialisasi tulisan di dalamnya. makasih ikut give awayku mak

    ReplyDelete

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^